YOGYAKARTA, sumatrapost.id – Toleransi umat beragama di Kota Yogyakarta dikenal cukup baik dan menjadi salah satu contoh di Indonesia dalam hal keberagaman dan kerukunan antar umat beragama.
Sebagai kota yang memiliki status istimewa sebagai daerah istimewa (DIY) dan menjadi pusat budaya, Yogyakarta memiliki masyarakat yang sangat heterogen, dengan beragam agama dan kepercayaan.
“Mayoritas penduduk Yogyakarta beragama Islam, namun kota ini juga memiliki penganut agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu,” jelas Afnan dalam Temu Silaturahmi Afnan-Singgih Bersama Pendeta/Gembala Kota Jogja, Selasa (5/11/2024).
Acara Temu Silaturahmi Afnan-Singgih Bersama Pendeta/Gembala Kota Jogja dihadiri sekira 50 Pendeta/Gembala di Kota Jogja.
Singgih menjelaskan ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya toleransi umat beragama di Yogyakarta antara lain pengaruh budaya dan sejarah, pendidikan, aktivitas keagamaan, peran pemimpin lokal dan adanya dialog antar umat beragama.
“Yogyakarta sering disebut sebagai Indonesia mini, karena didalamnya ada berbagai macam suku, agama dan ras, latar pendidikan yang berbeda-beda yang bisa hidup damai,” papar Singgih
Pada sesi dialog/tanya jawab, Pendeta Agus menanyakan apa yang akan dilakukan Paslon Afnan-Singgih jika terjadi intoleransi pada umat Kristiani yang notabene minoritas.
Afnan dengan tegas mengatakan akan memberikan keadilan bagi seluruh warga/masyarakat Kota Jogja tanpa terkecuali.
“Akan ada perhatian yang berimbang bagi Umat Kristiani di Kota Jogja dalam bentuk apapun. Tidak akan ada pengecualian,” jelas Afnan yang disambut tepuk tangan seluruh tamu undangan.
Lebih lanjut Afnan mengatakan akan melakukan mediasi hingga tercapai kehidupan masyarakat yang saling menghormati.
“Tapi jika dalam kejadian intoleransi tersebut ada masalah terkait kriminalitas, akan kita selesaikan dengan sesuai hukum,” tegas cucu pahlawan Nasional tersebut.
Namun demikian, meskipun toleransi antar umat beragama di Yogyakarta tergolong baik, tantangan tetap ada, seperti isu-isu yang berkaitan dengan intoleransi yang mungkin muncul di beberapa kalangan.
“Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk terus menjaga dan memelihara rasa saling menghormati dan bekerjasama dalam merawat kerukunan yang sudah ada,” tegasnya.
Pendeta Agus kemudian menceritakan bahwa selama ini sudah banyak sekolah yang dia ajar mata pelajaran agama.
“Sudah ada 3 sekolahan yang saya ampu sebagai pengajar agama kristen/katolik baik SD maupun SMP. Sebagian wali murid iuran untuk sekedar memberikan uang gaji, jadi saya mohon untuk lebih memperhatikan kesejahteraan Guru Tidak Tetap (GTT),” ucapnya.
Mendapati hal tersebut, Afnan menceritakan bagaimana dulu sewaktu masih menjadi DPD RI memperjuangkan kesejahteraan GTT dengan Singgih Raharjo yang kala itu menjabat Kepala Dinas Pendidikan.
“Saat itu saya dan Pak Singgih yang kala itu masih Kadis Pendidikan, berusaha keras agar GTT mendapat insentif, namun ditolak dengan alasan saat ini yang mendapat hanyalah untuk guru Sekolah Luar Biasa.Dengan tetap ngotot dan ngeyel, akhirnya untuk insentif guru swasta setelah kita perjuangkan diberikan insentif sebesar Rp. 1,2jt/guru/tahun,” jelasnya.
Paslon Afnan-Singgih juga berjanji akan terus memperjuangkan kesejahteraan GTT yang disesuaikan dengan anggaran daerah.